Minggu, 08 Juli 2012

Pilkada DKI : Pemilu dan Golput

11 Juli 2012, warga DKI Jakarta akan segera melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah alias PILKADA tingkat provinsi. Meskipun saya seorang warga Bandung (yang kadang-kadang suka sebel dengan segelintir mobil plat B karena ugal-ugalan di jalan tol Bandung), tapi saya cukup concern dengan Pilkada kali ini. Pasalnya, Jakarta adalah ibukota Indonesia - jadi sebagai warga negara Indonesia, saya tetap menginginkan yang terbaik bagi DKI Jakarta.

Jika berbicara tentang Pilkada (atau pemilihan lainnya), sudah pasti isu golput pun bermunculan. Saya sudah mencoba googling, mencari alasan mengapa masyarakat memilih golput; dan jawaban secara umum adalah karena pesimis dengan kandidat, ketidakpedulian, tidak terdaftar atau golput karena masalah teknis, bentrokan karena kepentingan pribadi, dan tidak mendukung pemilu sebagai pesta demokrasi karena bertentangan dengan pandangan agama. Untuk alasan terakhir, saya tidak bisa berkomentar, karena yang mengemukakan alasan tersebut adalah Umat Muslim. Saya bukan orang Islam sehingga saya kurang mengerti landasan argumentasi tersebut.

Sebelumnya, saya ingin menekankan bahwa saya bukanlah pendukung Golput. Pada era Suharto, saat partai politik Indonesia yang diizinkan untuk bersaing dalam Pemilu hanya tiga (Golkar, PPP, dan PDI), saya tidak sabar ingin memiliki KTP karena ingin ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Kalau tidak salah saat itu tahun 1996-1997, jadi usia saya baru 10 atau 11 tahun. Bahkan ketika tetangga berdiskusi tentang pemilu, saya ikut-ikutan bicara, sampai-sampai ditegur (meskipun sambil bercanda).

Setelah dewasa, saya baru mengerti bahwa ternyata berpartisipasi dalam Pemilu secara aktif dan serius bukanlah hal yang mudah. Kalau hanya asal coblos sih gampang, tapi apa artinya? Kita perlu tahu siapa kandidat yang kita pilih, mengapa kita memilih dia, dan mengapa kita tidak memilih yang lain. Dari sini saya mengerti mengapa ada orang yang memilih golput. Dalam berbagai pemilihan, tidak jarang kandidat yang bersaing jumlahnya banyak, sehingga perlu "pendalaman" yang menyita waktu. Seorang tukang batagor yang biasa lewat depan rumah pernah bilang, daripada baca koran atau nonton debat kandidat di televisi, mendingan keliling kampung menghabiskan dagangan. Belum lagi kalau kandidat yang disodorkan ternyata tidak memiliki track record yang mengesankan, sehingga membuat kita pesimis. Akhirnya banyak yang berargumen daripada salah pilih, lebih baik tidak memilih sama sekali.

Walaupun demikian, saya tidak ingin menjadi warga negara hantu yang keberadaannya tidak disadari. Saya ingin menjadi warga negara yang diakui, didengar, dan diwakili (sebagai seorang turunan Cina dan beragama minoritas, pengakuan harganya mahal loh). Bagi saya, orang yang Golput saat pemilihan, tapi setelahnnya menuntut ini dan itu pada pemerintah, adalah orang yang egois. Jika kita menginginkan perubahan atau perbaikan, maka kita harus berjuang mencari pemimpin yang bisa melakukannya. Kalau tidak ada, maka carilah pemimpin yang setidaknya bisa mendekati target itu. Kalau tidak ada juga, belajarlah sebaik-baiknya dan maju agar kita sendiri bisa menjadi pemimpin yang seperti itu. Dengan kata lain, saya belajar untuk mencari yang terbaik di antara pilihan yang buruk. Jika kita apatis, jangan mengharapkan keadaan yang lebih baik.

Saya tidak menjelek-jelekan orang yang akhirnya golput karena tidak bisa atau tidak mau memilih. Semua adalah pilihan pribadi. Tapi inilah pilihan saya, sebagaimana saya diajarkan sejak di Sekolah Minggu: saya harus mengusahakan kesejahteraan kota di mana Tuhan menempatkan saya, karena kesejahteraan saya bergantung pada kesejahteraan kota tersebut. Kata "kota" bisa boleh diganti dengan "provinsi" atau "negara".

So... wahai warga DKI Jakarta, apa pilihamu? Sebab DKI Jakarta adalah ibukota Indonesia - dengan kata lain, ibu kota kami semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar