Kamis, 07 Juni 2012

Finding New Home

Sudah sejak sebulan yang lalu, saya disibukkan dengan proses pembelian rumah dan pengajuan KPR ke bank OCBC NISP. Ini pertama kalinya saya membeli rumah dengan fasilitas KPR, dan ternyata lumayan melelahkan juga. Tapi nggak apa-apa deh, setidaknya jadi pengalaman berharga.

Alasan saya membeli rumah adalah karena sebentar lagi putri saya akan sekolah (toddler), dan rumah kami yang sekarang tidak ada sekolah Kristen. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari rumah bekas di sekitar tempat usaha suami, dengan harga kisaran 350 sampai 400 juta. Kami mengajak mama hunting rumah, sebab kami pikir orangtua mempunyai pemikiran yang lebih matang daripada anak muda. Namun setelah seharian berkeliling, tidak ada satupun yang cocok. Hari sudah sore sehingga kami memutuskan untuk pulang.

Namun dalam perjalanan pulang, kami mampir di sebuah perumahaan baru yang tidak terlalu besar. Unit yang tersisa hanya tinggal dua, namun mama merasa cocok sekali dengan perumahaan itu. Suami juga suka rumah itu, begitu pula putri kami yang baru berusia 2 tahun. Dia langsung betah, berlari-lari gembira di rumah yang masih kotor. Sayangnya, developer tidak mau menerima "uang tanda jadi". Dia bilang, jika berminat, kami harus segera melunasi DP sebesar 20%. Memang sih, perumahan itu laku banget. Kami hanya diberi waktu dua hari untuk menyetorkan DP, itu pun terpotong hari Minggu.

Kami pulang dengan menyisakan perdebatan. Bagi orang seukuran saya, harga rumah itu terlalu tinggi, 700 juta.  20%-nya saja sudah 140juta. Padahal saya hanya menyediakan dana untuk DP sebesar 70-80 juta rupiah. Suami juga tidak mau memaksakan, dia khawatir DP yang terlalu besar akan mengganggu cash flow. Namun, mama merasa rumah itu lebih cocok untuk keluarga kami. Akhirnya mama bersedia menutupi sebagian uang DP dengan tabungan pribadinya. Orangtua suami juga bersedia menambahkan untuk PPN yang nilainya cukup besar. Beliau merasa antusias karena rumah yang akan kami beli lokasinya tidak terlalu jauh dengan rumah mereka.

Alhasil, saya dan suami "gagal" membeli rumah dengan usaha kami sendiri karena lagi-lagi orangtua memberikan subsidi. Di satu sisi kami bersyukur karena mempunyai orangtua yang selalu menginginkan segala yang terbaik bagi anak dan cucunya, tapi di sisi lain saya merasa tidak kunjung "dewasa dan mandiri". Mungkin itu resikonya menikah di usia muda. Saya dan suami langsung mengatur strategi agar cicilan rumah bisa kami tangani sendiri - sebagai pembuktian pada diri sendiri bahwa kami bisa menyelesaikan apa yang kami mulai, tanpa perlu merepotkan orangtua lebih jauh lagi.

Ya, itulah pengalaman pertama kami mencari rumah baru. Saya harap semuanya lancar. Sampai sekarang kami masih mengurus proses KPR yang hanya tinggal menunggu akad kredit saja. Semangat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar