Kamis, 24 Mei 2012

Friendship and Marriage

Setiap manusia pasti membutuhkan sahabat. Meskipun tidak semua orang pandai bersahabat, tapi saya yakin pada dasarnya manusia membutuhkan keberadaan sahabat. Sewaktu kita sekolah, seringkali keberadaan sahabat menjadi poin krusial yang menentukan apakah kita merasa bahagia atau tidak.

Setelah menikah, kedudukan sahabat dalam hidup kita bergeser akibat munculnya peran-peran baru (sekaligus tanggung jawab baru) yang mesti kita lakukan. Bagi saya semua itu adalah hal yang wajar, sebab sudah kodratnya bagi manusia untuk lebih memperhatikan keluarganya, apalagi jika pernikahan itu baru seumur jagung. Walaupun demikian, persahabatan tidak boleh dibiarkan mati karena terlindas pernikahan. Meskipun seseorang telah menikah, dia tetap membutuhkan komunitas di mana dia dapat bertumbuh menjadi makhluk sosial yang positif dan sehat.

Walaupun demikian, setelah beberapa tahun menikah, saya baru merasakan bahwa persahabatan dan pernikahan tidak selamanya meluncur mulus. Sebagai seorang istri yang bekerja dan ibu dari seorang anak batita, saya merasakan bagaimana sulitnya mencari kesempatan untuk hang out dengan teman-teman lama. Sebagian besar sahabat saya tinggal/bekerja di luar kota, beberapa di luar negeri, sehingga jarang sekali saya bisa bertemu mereka. Dalam setahun, paling hanya satu kali saja saya bisa bertatap muka dengan mereka. Satu-satunya sahabat dekat yang masih tinggal sekota adalah teman sejak SMP, seorang cowok dan masih bujangan. Namun sebagai seorang wanita yang sudah menikah, saya menemui segudang kendala untuk bersahabat dengan seorang pria berstatus jomblo.

Cross-sex friendship (CSF) atau persahabatan dengan lawan jenis ternyata tidak semudah itu diterima oleh masyarakat. Umumnya mereka mengaitkan CSF dengan keinginan untuk affair/perselingkuhan. Saya tidak mengerti mengapa mereka beranggapan sepolos itu, terutama jika CSF itu berlangsung sejak lama atau sejak kecil. Saya pikir, jika memang saya tertarik pada sahabat saya itu, tentunya sudah sejak dulu pun saya sudah pacaran dengannya. Justru karena saya merasa nyaman bersahabat dengannya, maka persahabatan itu bisa kami jaga dari remaja sampai sekarang. Apakah argumentasi itu cukup bagi orang lain untuk tidak berprasangka negatif? Sayangnya, jawabannya adalah tidak cukup. Silahkan cek lewat search engine mengenai CSF, banyak pendapat yang menolak atau setidaknya membatasi. Rupanya, persahabatan antara seorang wanita menikah dengan pria jomblo tetap menuai kontroversi, bahkan di negara bebas sekalipun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar